Penulis Australia: Orang Aceh Asyik!
18 Oktober 2012
Ruby J. Murray seorang perempuan penulis muda Australia. Selain menulis, dia juga seorang peneliti dan senang berwisata. Dia alumnus University of Melbourne.
Kamis, 11 Oktober 2012, dia berbicara dalam Satelite Event Ubud Writers and Readers Festival di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Syiah Kuala. Acara tersebut dilaksanakan oleh Sekolah Menulis Do Karim dan Badan Eksekutif Mahasiswa FISIP Unsyiah bekerja sama dengan Yayasan Mudra Swari Saraswati Bali.
Setelah selesai menjadi pembicara di acara tersebut, Kamis siang pekan lalu, Ruby menyempatkan diri berkunjung ke redaksi atjehpost.com/ The Atjeh Times dengan ditemani Rektor Sekolah Menulis Do Karim, Fauzan Santa.
Di ruang redaksi, Ruby disambut Direktur Utama The Atjeh Times Nurlis E. Meuko dan Pimpinan Redaksi Yuswardi A. Suud serta beberapa wartawan.
Walau pernah bekerja di IOM untuk proyek pemulihan Aceh setelah tsunami, dia tidak pernah datang ke Aceh dan hanya tinggal di Jakarta. Selama menjadi penulis, dia selalu mengampanyekan tentang Indonesia yang damai dan kaya dengan budaya.
“...Selama ini tampaknya Australia telah melupakan Indonesia ada. Indonesia bukan hanya Bali, Balibo, Bintangs, dan pengeboman. Indonesia lebih dari itu. Bali adalah bagian kecil dari Indonesia. Kita lupa Indonesia karena bahaya (yang menghantui) politik kita sendiri”, ujar Ruby dalam artikelnya “Invisible Indonesia”.
Dalam pertemuan itu, Ruby bercerita banyak hal. Mulai dari rasa kopi dan budaya ngopi di Aceh yang menarik baginya. Dia juga bercerita tentang media pers yang ada di negaranya.
Bagaimana perasaan Anda ketika datang ke Aceh?
Ini adalah kedatangan saya yang pertama ke Aceh. Senang sekali tentunya. Saya paling suka melihat budaya orang Aceh menikmati kopi pagi di warung-warung yang ramai, dan saya adalah pencandu kopi yang berat.
Aceh sangat berbeda dengan Jakarta. Ketika sampai ke sini, saya seperti bisa “bernafas” kembali. Di Jakarta, dengan segala kesibukan warganya, terasa sangat sesak.
Saya berbicara di depan banyak penulis muda Aceh. Yang sangat saya sukai di sini adalah Aceh punya banyak penulis muda. Banyak penulis Aceh bangkit setelah tsunami. Penulis di Aceh juga banyak mengeksploitasi tentang sejarah mereka yang belum terekspos. Keinginan untuk menulis sejarah juga sangat kuat pada penulis Aceh. Ini yang berbeda dengan penulis di Jakarta ataupun di Australia.
(Saat berdiskusi dengan awak redaksi, Ruby juga berbicara tentang media, membandingkan media di Indonesia dengan Australia. Ruby menanyakan apakah rubrik editorial media di Aceh mengkhususkan pada jenis isu, seperti budaya, politik, ekonomi, atau bercampur. Nurlis E. Meuko, Pimpinan The Atjeh Times menjelaskan, di Aceh, khususnya The Atjeh Times, editorial tidak mengkhususkan pada satu isu. Editorial berisi tentang budaya, politik, dan juga ekonomi).
Bagaimana Anda melihat media di Aceh atau di Indonesia bila dibandingkan dengan media pers yang ada di negara Anda?
Saya melihat media di negara saya masih belum punya kebebasan lebih seperti di Indonesia dan juga di Aceh.
Di sana, pers masih dibatasi, masih diintervensi oleh pemerintah. Masih ada ketakutan pemerintah terhadap pemberitaan pers yang dianggap mengganggu kestabilan negara. Untuk kasus-kasus tertentu, seperti terorisme, pers dilarang melakukan investigasi. Itu aturan pemerintah.
Di Australia peran pers dikecilkan oleh pemerintah. Ini berbeda dengan di Indonesia. Selama saya tinggal di Jakarta, pers bisa menjadi pengawal kebijakan pemerintahan. Di sini pers tidak diintervensi oleh pemerintah.
Kemudian, di Australia, saat ini banyak media yang “mati” karena tidak ada lagi advetorial atau iklan. Banyak box koran di depan rumah di pemukiman warga dalam kota yang sudah tidak terpakai, sudah berkarat. Ini menandakan banyaknya media di negara kami yang kolaps.
Di Australia, tema budaya dan kesenian itu ada medianya sendiri. Jadi, terpisah dengan media pers yang mengangkat tema politik dan ekonomi. Di sana masyarakat tidak terlalu senang berbicara tentang politik, lebih suka berbicara tentang ekonomi, budaya, dan kesenian.
Ini saya lihat berbeda dengan di Aceh yang masyarakatnya sangat senang dengan hal yang berbau politik. Hehehe.
Sebelum sampai di Aceh, apa yang Anda tahu dan Anda dengar tentang Aceh?
Hmm, jujur, sebelum datang ke Aceh, saya banyak mendapatkan informasi bahwa orang-orang Aceh sangat fundamentalis dalam beragama. Orangnya keras, penganut Islam yang radikal. Tapi, setelah datang langsung dan melihat suasana di sini, semua itu tidak terbukti, tidak seperti informasi yang saya terima. Orang-orang Aceh sangat asyik diajak berdiskusi, apalagi di warung kopi. (lah scara langsung: jadi terbukti orang aceh gak kuat kali agamanya )
Dengan syariat Islam yang berlaku di Aceh, apa yang Anda rasakan?
Tidak masalah bagi saya karena saya lihat orang Aceh saling menghormati walau saya berbeda keyakinan, dan saya juga sangat menghormati hukum Islam yang berlaku di sini.
Saya punya seorang sepupu yang juga seorang Muslim. Ketika saya mengatakan hendak mengunjungi Aceh, dia langsung memberi saya semangat untuk datang kemari. “Ayo, datanglah ke Aceh, tempat itu sangat indah,” begitu katanya.
Bisa Anda ceritakan sedikit tentang novel perdana Anda?
Running Dogs itu adalah novel pertama saya yang bercerita tentang kehidupan seorang keluarga ekspatriat yang tinggal di Jakarta setelah jatuhnya rezim Orde Baru.
Novel itu awalnya bertujuan untuk kampanye saya kepada teman-teman dan warga Australia. Saya ingin katakan bahwa Indonesia tidak seperti yang selama ini dibayangkan di Australia, yang penuh bom, teror, dan lainnya. Saya ingin katakan bahwa Indonesia ini tidak hanya Bali. Selama membuat novel itu saya pulang pergi Jakarta-Melbourne untuk mengumpulkan bahan.
Apakah Anda punya rencana menulis tentang Aceh, seperti Anda menulis tentang Jakarta?
Hehehe. Kalau diberi kesempatan, pasti saya akan melakukannya.
Setelah pulang ke Australia, apakah ada rencana untuk datang lagi ke Aceh?
Saya belum tahu. Yang pasti, setelah pulang dari sini, saya akan ke San Fransisco. Setelah pulang dari sana nanti, saya akan ke Indonesia lagi, mungkin akan ke Aceh