Keluarga Alumni Fakultas Teknik (KAFT) Sumbang Pikiran Untuk Masalah Listrik Aceh
19 Mei 2016
BANDA ACEH - Keluarga Alumni Fakultas Teknik (KAFT) Universitas Syiah Kuala turut sumbang pikiran untuk menanggapi permasalahan kelistrikan di Aceh.
Lewat diskusi online yang diikuti ratusan anggotanya yang banyak berkecimpung di bidang kelistrikan baik di dalam dan luar negeri, KAFT merumuskan beberapa solusi atasi krisis listrik Aceh untuk dapat di laksanakan oleh pihak yang bertanggung jawab langsung terhadap masalah ini.
Ada beberapa kesimpulan menarik dari hasil diskusi panjang tersebut:
1. Perlu dorongan kuat dari Pemprov Aceh untuk menyelesaikan masalah ini.
Jika hanyabmenunggu Jakarta, maka masalah kelistrikan Aceh akan lama majunya. Pemprov harus memberikan kemudahan untuk investor agar mudah berinvestasi di Aceh, serta menjamin keamanan dan kestabilan daerah.
"Di Sulawesi Utara dan Gorontalo, perbaikan kelistrikan di dukung sepenuhnya oleh Gubernur. Bahkan Gubernur Gorontalo bisa membebaskan lahan hanya butuh waktu 1 bulan saja untuk bangun PLTG di sana," paparr salah satu peserta diskusi, Agus Rizal Adly.
Menurut alumni Teknik Mesin tahun 1997 itu, Sumatera yang sudah mandiri atau terpenuhi kebutuhan listriknya cuma Sumatera Selatan, itupun kalau semua pembangkit dalam keadaan siap atau available.
"Daerah lainnya masih defisit, termasuk Aceh. Pilihan yang paling bagus memang mandiri, apalagi daerah yang punya resources yang cukup seperti Aceh," ulasnya.
"Kalau masalah kecukupan listrik tidak dimasukkan ke dalam program pembangunan daerah, sulit untuk bergerak sendiri. Artinya cuma menunggu inisiatif dari program PLN pusat, maka akan perlu waktu, dan harus masuk di RUPTL," imbuh dia.
Contoh daerah yang proaktif atasi listrik, ucapnya, adalah Kabupaten Pelalawan. Pemkab Pelalawan pernah melakukan sedikit gerakan dengan menahan izin operasi konstruksi pipa gas di sana sampai mereka diberi komitment supply gas. Akhirnya mereka punya turbine gas untuk pembangkit listrik.
"Aceh bisa juga memainkan kartu ini asalkan ada inisiatif dan komitmen Pemprov. Oleh karenanya, gubernur yang sekarang atau yang akan datang, haruslah orang yang berkomitmen kuat untuk menyelesaikan masalah kelistrikan sebagai prioritas programnya. KAFT dengan anggota ahlinya yang banyak berkecimpung di dunia kelistrikan, siap menjadi mitra pemerintah," tandasnya.
2. Solusi Jangka Pendek Kelistrikan Aceh
Mati lampu di aceh karena kurang daya dan juga sistem jaringan/transmisinya yang terbatas, sehingga tidak optimal bila ada pasokan daya dari luar Aceh. Saat ini praktis hanya dua pembangkit saja yang memasok Banda Aceh, yaitu dari Nagan Raya dan dari PLTMG Arun.
Sistem transmisi adalah hal yang mutlak yang harus diperbaiki. PLN Nagan Raya harus belajar dari PT Sumber Segara Primadaya (PLTU Cilacap), yang menjadi The Best IPP (Independent Power Producer) Company tahun 2015, padahal sama-sama mengoperasikan pembangkit yang dibuat oleh China. Perlu ada analisa khusus terhadap anggapan peralatan yang mudah rusak untuk mengetahui sumber masalah utamanya.
Untuk Nagan Raya, biaya transport batubara nya tinggi sekali. Masalah batubara seharusnya proses angkutnya dari tambang langsung ke dermaga PLTU, namun karena pendangkalan maka tongkang tidak bisa sandar.
Ada tiga solusi untuk meningkatkan ketersediaan batubara di sana;
- Jangka pendek, lakukan keruk dermaga PLTU secara berkelanjutan menggunakan kapal tshd kapasitas 1500-2000 m3. Syaratnya, pemda mudahkan izinnya. Wewenang izin keruk dibawah 100 ribu ton bisa di daerah/ksop setempat.
- Peningkatan kapasitas dan kemampuan bongkar di Pelabuhan Umum Meulaboh sehingga bisa sandar kapal/vessel 20-35 ribu ton. Saat ini vessel-barge (trans-shipment), barge sandar ke Ujungkarang - unloading menggunakan truk kecil 5-6 ton ke Nagan Raya.
- Blending, batubara dari bukit asam Kalori Gross As Receive (GAR) 4500 di mix dengan > batubara lokal 3300 sehingga didapat GAR 3800 kcal/kg.
Tiga solusi diatas, 1 oleh PLTU Nagan Raya, 1 oleh Pemda Aceh dan 1 oleh PLN Pusat divisi batubara.
Inti dari permasalahan PLTU Nagan tidak siapnya infrastruktur pelabuhan atau dermaga bongkar muat batubara. Kalau cuma mengandalkan truck, untuk bongkar 35 ribu ton dari tongkang, tidak akan mencukupi.
Perlu adanya kajian-kajian, kemungkinan menggunakan conveyor belt untuk lebih effisen. Beberapa pemilik kapal mengeluh jika membawa batubara ke sana, demurrage nya besar sekali. Kalau bisa sandar di pelabuhan PLTU, itu tentu sudah aman.
Jika SFC (specific fuel consumption) Nagan 0,6 kg/kwh, untuk 2 x 110 MW maka diperlukan 0,6 x 220 MW/1000 x 24 jam x 70% (capacity factor), maka setiap hari perlu 2.200 ton batubara.
Untuk 2 x 110 MW maka diperlukan 0,6 x 220 MW x 24 jam x 70% (capacity factor). Jika bongkar di mbo dan jarak 15 km dengan kecepatan truk 40 km/jam. Waktu loading 15 menit, berangkat 20 menit, bongkar 15 menit, kembali 20 menit.
Untuk 1 cycle truk 1 jam maka diperlukan 20 truk selama 24 jam tanpa henti, agar bisa unloading 2200 ton per hari.
3. Kenapa tidak manfaatkan panas bumi yang di Aceh besar, agar permasalahan listrik selesai.
Masyarakat merasa Pemprov Aceh tidak memiliki komitmen untuk mendirikan PLTP, ataupun pemanfaatan sumber daya lainnya. ini masalahnya bukan sumber energi nya. Gas, batubara, panas bumi dan air, sumbernya cukup banyak. Untuk Aceh, Pemprov harus serius memperjuangkan pendirian pembangkit-pembangkit besar, mulai dari Tampur bisa 800 MW, Jambo aye 300 MW, Woyla 100 MW, Meurebo 60 MW, Isep 30 MW, Kluet 300 MW, yang kesemuanya adalah PLTA.
Besar sekali reserve energy Aceh. Jika semua reserve itu di gunakan maksimal, maka bukan tidak mungkin Aceh bisa menjual listrik ke daerah lain, bahkan ke negara tetangga.
Pemerintah Aceh harus aktif menanggapi program 35 ribu MW dari Presiden Jokowi dan jaringan 19 ribu km serta 400 GI untuk Sumatera, dan Aceh harus mendapat tempat dalam program ini. Jangan kasus PLTP Seulawah terulang kembali.
Tahun 1995, PLTP Seulawah sudah diplot dalam blue print pembangkit nasional. Untuk Seulawah yang punya teritori adalah Pemprov yang mendapatkan loan dari KFW Jerman.
4. Jadikan Aceh sebagai sentral energy Sumatra.
Hal ini tidak hanya akan meningkatkan energy Aceh, tapi juga pembukaan lapangan kerja dan peningkatan ekonomi Aceh. Pemprov harus proaktif dan kuat agar Aceh bisa mendapat manfaat dari sumber daya alamnya.
Kalau Pemprov tidak proaktif untuk meminta porsi tersebut, maka gasnya dimanfaatkan pihak lain saja. Pintu masuknya ketika perusahaan manapun sebelum mereka mengajukan izin eksplorasi dan operasi, pemda harus siap dengan konsep dan rencana untuk mendapatkan manfaat dari pengelolaan SDA. Sebagai imbalannya beri kemudahan atau fasilitas perusahaan untuk menjalankan kegiatan pengusahaan tapi bukan berarti melanggar aturan.
5. Jagalah kestabilan keamanan.
Sebagai gambaran saja, Peusangan sudah mulai dibangun tahun 1994, terus berhenti hampir 15 tahun karena keamanan. (*)
sumber: tribunnews