7 Alasan Kesultanan Aceh Bisa Runtuh

Kesultanan Aceh Darussalam merupakan kerajaan Islam yang pernah berdiri dan memerintah di prov. Aceh, Indonesia. Kesultanan ini terletak di sisi utara pulau Sumatera yang beribukota Bandar Aceh. Sultan pertama kesultanan Aceh adalah sultan Ali Mughayat Syah yang wafat pada hari Minggu, 1 Jumadil Awal 913 Hijriah atau pada tanggal 8 September 1507 M. 

Kesultanan Aceh dibangun oleh seorang sultan yaitu Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1496 yang juga menjadi sultan pertama kerajaan Aceh. Pada tahun 1528, kemudian sultan Ali Mughayat Syah digantikan oleh putra pertamanya yang bernama Salahuddin dan memerintah hingga tahun 1537, kemudian digantikan lagi oleh sultan Alauddin Riayat Syah AL-Kahar dan memegang tampuk kekuasaan hingga tahun 1571.

Kesultanan Aceh kemudian mencapai puncak kejayaannya di bawah kepemimpinan Sultan Iskandar Muda yang memerintah dari tahun 1607 hingga 1636. Di bawah kepemimpinan Sultan Iskandar Muda Kesultanan Aceh mengalami masa pengaruh atau pemekaran yang paling luas, dimana Aceh mampu menaklukkan Pahang yang merupakan kerajaan penghasil timah.

Pada masa pemerintahan sultan Iskandar Muda, kesultanan Aceh benar-benar berada di puncak kejayaannya. Namun, setelah kematian Sultan Iskandar Muda pada tahun 1636, kesultanan Aceh seolah kehilangan identitasnya dan banyak masalah internal kerajaan membuat kerajaan ini semakin mundur dan akhirnya runtuh.

Pada postingan artikel kali ini, Kakak Nji akan memberikan informasi kepada sobat semua, 7 Faktor Penyebab Runtuhnya Kesultanan Aceh Yang Harus Anda Ketahui.



1. Tidak Memiliki Raja Yang Bisa Memimpin Dengan Baik

Salah satu faktor terpenting sukses tidaknya sebuah kerajaan adalah kualitas pemimpinnya. Sepeninggal sultan Iskandar Muda pada tahun 1636 M, Kesultanan Aceh seolah kehilangan seorang pemimpin yang mampu memimpin dan membawa Aceh pada masa kejayaannya seperti halnya sultan iskandar Muda.

Kemampuan kepemimpinan para sultan setelah sultan Iskandar Muda dinilai tidak mampu membawa Aceh ke masa kejayaannya bahkan terus mengalami kemunduran. Kemunduran Kesultanan Aceh terus terjadi hingga naiknya sultan Mahmudsyah yang masih sangat muda dan lemah dalam hal kepemimpinan.

Setelah naik tahtanya sultan Mahmudsyah, serangkaian upaya dilanjutkan dengan diplomasi ke wilayah Istanbul yang kemudian dipimpin oleh Teuku Paya Bakong dan Habib Abdurrahman Az-Zahier dalam rangka melawan pengaruh atau perluasan kerajaan Belanda tergolong gagal. Kemudian, sekembalinya Habib Abdurrahman Az-Zahier ke ibu kota banda Aceh, ia bersaing dengan seseorang dari keturuna India bernama Teuku Panglima Maharaja Tibang Muhammad yang berniat menanamkan pengaruh kekuasaannya pada kesultanan Aceh.

Banyak orang Moderat yang cenderung mendukung Habib Abdurrahman Az-Zahier, namun karena sultan Mahmudsyah terlalu muda dan lemah dalam membaca situasi, dia membuat keputusan yang cukup membingungkan dimana dia percaya dan mendukung Panglima Tibang yang diduga melakukan pembunuhan. rencana penganiayaan atau kerjasama dengan pemerintah Belanda saat melakukan perundingan di Riau.

2. Perebutan Tahta Kesultanan Aceh

Faktor lain yang menyebabkan runtuhnya kesultanan Aceh adalah perebutan kekuasaan di antara para pewaris tahta kesultanan Aceh. Hal ini terbukti, dimana ketika wafatnya sultan Iskandar Tsanu ke berbagai rangkaian peristiwa lainnya, para bangsawan menginginkan hilangnya kontrol ketat terhadap kekuasaan sultan dengan mengangkat janda dari sultan Iskandar Tsani menjadi sultanah. Ada beberapa sumber yang menjelaskan bahwa ketakutan raja yang zalim lagi sehingga ada pengangkatan sultanah ini. Sejak saat itu, para Uleebalang bebas melakukan transaksi perdagangan dengan pedagang asing tanpa harus melewati pelabuhan sultan di ibu kota kesultanan.

Lada yang termasuk tanaman utama banyak dibudidayakan oleh masyarakat aceh di seluruh pesisir Aceh, dan hal ini menjadikan Aceh sebagai pemasok utama lada di dunia pada akhir abad ke-19. Meski demikian, sebagian masyarakat Aceh, khususnya dari masyarakat Wujudiyah tetap menginginkan pemimpin Aceh adalah seorang pria yang berstatus sultan dan bukan seorang sultanah. Orang-orang mengatakan bahwa pewaris sah tahta Kerajaan Aceh masih hidup dan menetap bersama orang-orang ini di pedalaman Aceh.

Hal ini kemudian menimbulkan perang saudara, dan menimbulkan ketidakamanan, pembakaran masjid agung Aceh dan kota Aceh pada waktu itu mengalami kekacauan yang luar biasa. Menanggapi kegaduhan tersebut, Kadhi Malikul Adil yang merupakan seorang mufti agung bernama teungku Syech Abdurrauf As-Sinkily melakukan berbagai upaya reformasi terutama dalam hal pembagian kekuasaan dan akhirnya membentuk tiga sagoe.

Dengan terpecahnya wilayah menjadi tiga membuat kekuasaan sultan dan sultanah menjadi sangat lemah. Dan inilah salah satu faktor penyebab runtuhnya Kesultanan Aceh. 

3.Penguatan kekuatan asing 

Menguatnya kekuatan asing di daerah aceh juga menjadi faktor penting dibalik runtuhnya Kesultanan Aceh. Kekuasaan Belanda semakin kuat baik di sumatera maupun selat malaka. Hal ini ditandai dengan penaklukan Siak, Tiku, Tapanuli, Mandaling, Deli, Minangkabau, Bengkulu dan Barus pada tahun 1840 ke dalam kekuasaan kolonial Belanda. 

4. Banyak Kerajaan Kecil Yang Pecah

Melemahnya kekuasaan Aceh juga disebabkan banyak terjadi pemisahan diri oleh kerajaan-kerajaan kecil yang semula merupakan bagian dari kekuasaan kesultanan Aceh.

Alasan mengapa kerajaan kecil itu pecah, adalah akibat dari runtuhnya kesultanan Aceh itu sendiri. Nama-nama kerajaan yang memisahkan diri itu antara lain kerajaan Pajang, Johor, Siak, Perak dan juga Minangkabau.

5. Terjadi Perang Saudara

Banyak kerajaan-kerajaan sebelumnya yang mengalami kemunduran bahkan runtuh akibat perang antar anggota keluarga kerajaan, serta kesultanan Aceh. Perselisihan antara keluarga kerajaan dan bawahannya terus terjadi yang berdampak sangat negatif bagi kerajaan itu sendiri. Tujuan perjuangan bukanlah untuk membuat kerajaan menjadi lebih baik, tetapi hanya untuk mendapatkan kekuasaan dan kekayaan dari rakyat.

Pada masa pemerintahan sultan Alauddin Jauhar Alamsyah yang memimpin Aceh dari tahun 1795 hingga 1824, ada seorang keturunan sultan yang diasingkan bernama Sayyid Husain yang mengklaim mahkota kesultanan dan menjadikan serta mengangkat putranya menjadi sultan Saif Al-Alam. Hal ini membuat perang saudara semakin memanas, namun berkat bantuan Raffles dan Koh Lay Huan yang merupakan pedagang dari wilayah Penang posisi Jauhar yang memiliki kemampuan berbahasa Inggris, Perancis dan Spanyol, hal tersebut teratasi dan menjadi tenang. lagi.

Tidak hanya kisah perang saudara di atas, perang saudara kembali terjadi, dimana terjadi perebutan kekuasaan antara Tuanku Sulaiman dengan Sultan Tuanku Ibrahim yang kemudian diberi gelar Sultan Mansur Syah yang memimpin Kesultanan Aceh dari tahun 1857 hingga 1870 M.

6. Penarikan Upeti

Sultan Mansur Syah yang memerintah dari tahun 1857-1870 M berusaha memperkuat kekuasaan kesultanan Aceh. Ia pun berhasil mengalahkan raja-raja Lada dan diperintahkan untuk membayar upeti kepada sultan, hal ini belum pernah dilakukan oleh sultan-sultan sebelumnya.

Selain itu, untuk memperkuat pertahanan wilayah timur, sultan mengirimkan armada pada tahun 1854 yang dikomandani oleh Laksamana Tuanku Usen yang kekuatan armadanya kurang lebih 200 perahu. Ekspedisi ini dilakukan untuk menegaskan kekuasaan kesultanan Aceh atas wilayah Serdang, Deli dan Langkat. Namun, terjadi peristiwa yang tidak diinginkan dimana pada tahun 1865 kesultanan Aceh harus meninggalkan daerah tersebut karena berhasil ditaklukkan di benteng Pulau Kampa.

7. Aliansi yang Gagal Dengan Prancis

Selain penarikan upeti, sultan Mansur Syah juga berusaha melakukan aliansi dengan pihak luar yang tujuannya untuk mencegah agresi dari kerajaan Belanda. Salah satu upayanya adalah mengirim utusan ke Istanbul untuk mengukuhkan status kesultanan Aceh yang merupakan negara vasal Turki Usmani. Selain mengirimkan utusan, sultan juga mengirimkan bantuan dan sejumlah uang untuk Perang Krimea.

Atas bantuan yang diberikan, sultan Abdul Majid I dari kesultanan Turki kemudian mengembalikan bantuan tersebut dengan mengirimkan beberapa peralatan perang ke kesultanan Aceh. Selain kerajaan Turki, sultan juga melakukan upaya untuk membentuk aliansi dengan kerajaan Prancis, yaitu dengan mengirimkan surat kepada raja Prancis yang saat itu dipimpin oleh Louis Philippe I dan juga presiden kedua republik Prancis pada tahun 1849.

Namun, hal itu tidak ditanggapi serius oleh Prancis. Hal ini bisa terjadi karena Prancis sempat merasakan kemunduran dari kesultanan Aceh sehingga meremehkan ajakan aliansi dari kesultanan Aceh.

Itulah artikel tentang 7 Faktor Penyebab Runtuhnya Kesultanan Aceh yang Perlu Anda Ketahui yang bisa Saudara Nji informasikan kepada Anda semua. Semoga dengan adanya artikel ini dapat menambah wawasan bagi sahabat semua.

Semoga bermanfaat.

Maverick Unemployed, but i am happy

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel