Kisah Ratu Safiatuddin, Wanita Pertama yang Memimpin Kerajaan Aceh
Nama-nama perempuan Aceh, seperti Cut Nyak Dien, Laksamana Malahayati, dan Cut Muetia, telah membuktikan perjuangannya di Serambi Mekah. Tapi mereka bukan satu-satunya wanita hebat di tanah rencong. Jauh sebelum nama-nama besar muncul, Aceh sudah memiliki wanita hebat bernama Sulthanah Shafiatuddin.
Dia adalah sultanah wanita pertama di Kerajaan Aceh Darussalam. Kehadiran tokoh perempuan saat itu menimbulkan pro dan kontra. Namun, ketika suaminya, Sultan Iskandar Tsani, meninggal dunia, sangat sulit mencari penggantinya. Apalagi dalam garis keluarga Sultan Iskandar Tsani tidak ada keturunan laki-laki.
Mengutip nu.online.id, untuk menggantikan Sultan Iskandar Tsani yang wafat, ada pertimbangan mengangkat istrinya, Ratu Shafiatuddin Syah sebagai Sulthanah di Kerajaan Aceh Darussalam yang pernah dipimpin oleh Sultan Iskandar Muda yang memimpin Aceh pada tahun 1607- 1636, ayah Syafiatuddin Syah. Ia adalah putri sulung Raja yang memimpin Kerajaan Aceh Darussalam pada era 1636-1641.
Sultan Iskandar Muda yang wafat pada tahun 1636 tidak memiliki putra mahkota dan digantikan oleh Sultan Iskandar Tsani, menantunya. Iskandar Tsani adalah putra Sultan Ahmad Syah, Sultan Pahang (sekarang Malaysia) yang menikah dengan Syafiatuddin Syah setelah Sultan Iskandar Muda menaklukkan Pahang pada tahun 1617.
Era Sultan Iskandar Tsani tidak lama, yaitu 1636-1641 yang juga merupakan tahun wafatnya. Situasi politik yang mendesak saat itu kemudian menempatkan Syafiatuddin sebagai pemimpin Kesultanan Aceh Darussalam selanjutnya dengan gelar Paduka Sri Sultanah Ratu Safiatuddin Tajul-'Alam Syah Johan Berdaulat Zillu'llahi fi'l-'Alam binti al-Marhum Sri Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam Syah.
Perdebatan tentang boleh atau tidaknya pemimpin perempuan dalam pemerintahan Islam sudah terjadi ketika Ratu Syafiatuddin diusulkan untuk memimpin Kerajaan Aceh Darussalam. Ada sejumlah pihak yang tidak setuju dengan naiknya Ratu Safiatuddin ke takhta. Ada beberapa kali pemberontakan serta upaya makar untuk menggulingkan kepemimpinan ratu.
Kondisi saat itu semakin rumit baginya karena Sulthanah Syafiatuddin juga harus menghadapi ancaman dari luar seiring dengan semakin kuatnya pengaruh VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) setelah berhasil merebut Malaka dari Portugis pada awal tahun 1641.
Pengangkatan Syafiatuddin sebagai pemimpin Kerajaan Aceh bukan tanpa pertimbangan matang. Syafiatuddin dinilai layak menduduki tahta kerajaan yang ditinggalkan suaminya karena memiliki visi yang cemerlang dalam menyebarkan Islam dan mengembangkan budaya dan seni dalam masyarakat Islam di Aceh.
Tak banyak yang tahu kapan pemilik nama asli Putri Sri Alam ini menjadi kesultanan pertama yang memimpin kerajaan Islam Aceh Darusalam. Masa kepemimpinannya tidak main-main bagi sosok perempuan, yakni 31 tahun dari 1644-1675.
Kepemimpinannya tidak kalah dengan raja-raja sebelumnya yang notabene laki-laki. Terbukti ketika Perang Malaka terjadi pada tahun 1639, Sultanah Syafiatuddin membentuk barisan wanita untuk memperkuat benteng keraton.
Banyak kebijakan positif yang dilakukan oleh ratu yang memiliki nama asli Putri Sri Alam ini. Ia cukup berhasil menghidupkan kembali kesuksesan Kerajaan Aceh Darussalam yang mengalami masa gemilang di era kepemimpinan ayahnya, Sultan Iskandar Muda, dan sempat meredup saat dipimpin suaminya, Sultan Iskandar Tsani.
Salah satu yang paling terkenal adalah tradisi pemberian hadiah berupa tanah kepada pahlawan perang. Pemerintahan Sultanah Syafiatuddin juga dinilai sangat bijaksana, dimana mempertanyakan hukum dan adat istiadat dilakukan dengan baik. Dari visi infrastruktur adat ini muncul perkembangan seni, budaya, dan ilmu pengetahuan pada era kepemimpinannya.
Selain itu, Ratu Syafiatuddin berhasil menjaga hubungan diplomatik dengan kerajaan lain sehingga nama besar Kesultanan Aceh Darussalam tetap terjaga. Tak hanya itu, pada masa pemerintahannya, Aceh Darussalam mengalami kemajuan pesat di berbagai bidang, antara lain ekonomi, agama, hukum, seni budaya, hingga ilmu pengetahuan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Sultan Safiatuddin memerintah sampai kematiannya pada tahun 1675. Setelah kematian ratu pertama, Kesultanan Aceh Darussalam masih diperintah oleh wanita kuat sampai 24 tahun kemudian, yaitu Sultan Naqi al-Din Nur al-Alam (1675-1678), Sultanah Zaqi al-Din Inayat Syah (1678-1688), hingga masa pemerintahan Sultanah Kamalat Syah Zinat al-Din (1688-1699).
Mengenai pengangkatan ketiga wanita tersebut, uniknya ini merupakan terobosan baru di kerajaan Islam. Karena Sultanah Syafiatuddin tidak memiliki anak, akhirnya ratu mengangkat ketiga wanita tersebut untuk melanjutkan tahta. Ketiga wanita tersebut tidak berasal dari kalangan bangsawan atau keturunan bangsawan dari Aceh, melainkan masyarakat biasa.
Setelah Syafiatuddin, Aceh dipimpin oleh tiga perempuan. Meski tidak semua ratu mampu membawa Kesultanan Aceh Darussalam ke masa keemasan seperti pada masa Sultan Iskandar Muda dan Sulthanah Syafiatuddin, Serambi Mekah yang menerapkan syariat Islam memiliki sejarah gemilang di bawah kepemimpinan perempuan.
Ini adalah fakta sejarah yang tak terbantahkan. Padahal, Aceh memiliki lebih banyak lagi pemimpin perempuan yang tak hanya bertahta dengan label ratu atau sultanah. Wanita-wanita hebat dari tanah Rencong ini bahkan tampil sebagai panglima perang dan memimpin perjuangan rakyat Aceh melawan penjajah Belanda, yaitu Laksamana Malahayati, Cut Meutia, Cambuk Baren, Pocut Meurah Intan, Cutpo Fatimah, dan tentunya Cut Nyak Dien yang terkenal.
Tantangan Berat Syafiatuddin
Sejarawan Sher Banu A Latief Khan dalam tesisnya untuk London University “The Sultanahs of Aceh (2009)” mengatakan bahwa Shafiatuddin memiliki warisan kejayaan yang berat. Ayahnya, Iskandar Muda, adalah salah satu sultan paling jaya dalam sejarah kesultanan.
Ia terkenal dengan ekspedisi militer yang berhasil memperluas wilayah kerajaan Aceh dari pesisir Minangkabau hingga semenanjung Malaysia. Pada masa pemerintahan Iskandar Muda dari tahun 1607 hingga 1936, Kesultanan Aceh mengalami sebuah kejayaan yang belum pernah mereka raih sebelumnya.
Kawasan Selat Malaka sedang tidak mood saat Safiatuddin naik takhta. Perusahaan-perusahaan kolonialis dari Belanda dan Inggris tak henti-hentinya merebut jalur perdagangan di Selat Malaka. Berbagai blokade jalur perdagangan dan pelabuhan dilakukan, darah tertumpah.
Menurut Tiar Anwar Bachtiar, dosen Sejarah Islam STAI Persis Garut, Syafiatuddin bukan ahli militer dan tidak suka berperang. Namun, dia mengimbanginya dengan diplomasi yang hati-hati. Bangun aliansi dan cari dukungan untuk menangkal ancaman terhadap kerajaan. Banyak surat-surat Syafiatuddin kepada berbagai pihak yang bertahan hingga hari ini dan menggambarkan kelihaian diplomasinya.
Negara-negara Eropa seperti Portugal, Inggris, Spanyol dan Belanda, serta Turki Usmani, semuanya memiliki catatan Syafiatuddin mengikuti kebiasaan menulisnya. Keterampilan diplomasinya berhasil mencegah Aceh digerogoti kekuatan kolonialis selama 34 tahun pemerintahannya.
“Seperti kata orang, ingatlah dua hal dalam hidup, Tuhanmu dan kematian. Lupakan dua hal dalam hidup ini, yaitu kebaikan yang telah Anda lakukan dan keburukan yang telah dilakukan orang kepada Anda, agar kesadaran Anda tetap jernih dan tenang,” tulisnya dalam surat kepada Gubernur Jenderal Batavia Joan Maetsuyker pada tahun 1659 kepada menawarkan perdamaian dengan Belanda.
Meski dalam beberapa kesempatan, Ratu juga tak segan-segan menggunakan cara perang untuk menegaskan kedaulatan wilayahnya. Dua peristiwa yang menggambarkan hal ini adalah ketika Sultanah melawan VOC di Perak dan pantai barat Sumatera karena menganggap VOC telah melanggar kedaulatan Aceh.
Sultanah juga dikenal mendorong kemajuan melalui budaya dan ilmu pengetahuan. Ia tercatat sedang mempromosikan Jami' Baiturrahman di Banda Aceh. Begitu juga dengan dayah di seluruh wilayah wilayah Aceh. Dibantu oleh Ar-Raniry dan Abdurrauf Singkil sebagai mufti kerajaan, Safiatuddin tercatat sebagai pemimpin yang adil dan cerdas.
Syafiatuddin juga dikatakan kurang represif terhadap lawan-lawannya. Tiar menulis bahwa ulama yang telah menolak kepemimpinannya yang berjumlah sekitar 300 orang, diizinkan pindah dari Banda Aceh untuk mendirikan lembaga pendidikan. Di antara mereka, Syekh Abdul Wahhab diizinkan pindah ke Tiro dan mendirikan dayah di sana. Dayah Syekh Abdul Wahhab berkembang sangat pesat menjadi salah satu dayah terbesar di Aceh. Syafiatuddin tidak ikut campur dalam perkembangan dayah ini meskipun pendirinya berselisih dengannya.
Syafiatuddin meninggal pada tahun 1675 dalam usia 63 tahun. Pemerintahannya yang relatif damai membuat para tokoh tak ragu lagi menunjuk seorang perempuan untuk memimpin kesultanan, yakni Putri Naqiah. (diolah dari berbagai sumber)