Sejarah Rakyat Aceh Patungan 20 Kg Emas Untuk Beli Pesawat Pertama Untuk Negara
Tak hanya Hardjanto Tutik, warga Padang yang membeli obligasi pada 1950. Di tahun yang sama, Nyak Sandang dari Acel juga membeli obligasi.
Pada saat itu, pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Darurat Republik Indonesia nomor 13 Tahun 1950 tentang Pinjaman Darurat.
Peraturan tersebut diundangkan di Jakarta pada tanggal 18 Maret 1950 dan ditandatangani oleh Presiden Soekarno.
Pasal 1 undang-undang tersebut menjelaskan bahwa Menteri Keuangan diberikan kekuasaan pada tahun 1950 untuk mengambil tindakan. Termasuk memberikan pinjaman kepada negara, ikut serta dalam pinjaman, mengeluarkan peraturan tentang peredaran uang.
Disebutkan juga pinjaman dengan tingkat bunga 3 per 100 dalam satu tahun yang dibayar dengan kupon tahunan setiap 1 September.
Kupon dapat dibayarkan di seluruh kantor De Javasche Bank di Indonesia dan beberapa lokasi lainnya.
Tak hanya membeli obligasi, Nyak Sandang saat itu juga menyumbangkan hartanya untuk membeli pesawat pertama di Indonesia.
Orang Aceh mengumpulkan emas hingga 20 kg
Surat obligasi tahun 1950 milik Nyak Sandang yang diperlihatkan kepada Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka Jakarta, Rabu (21/3/2018).(Biro Pers, Media dan Informasi Sekretariat Presiden) |
Dia kemudian berpidato dan meminta orang-orang untuk menyumbang untuk Republik.
Tak butuh waktu lama, dengan bantuan Tengku Muhammad Daud Beureueh, masyarakat Aceh berhasil mengumpulkan emas sebanyak 20 kilogram dan 120.000 dollar Singapura.
Salah satu kontributornya adalah Nyak Sandang yang bertemu dengan Presiden Jokowi pada 21 Maret 2018.
Pada tahun 1948, Nyak Sandang yang berusia 23 tahun mengatakan bahwa dia dan orang tuanya menjual sebidang tanah yang ditanami 40 pohon kelapa.
Ia kemudian menyerahkan hasil penjualan tanah dan 10 gram emas kepada negara beserta sumbangan dari warga Aceh lainnya. Saat itu, harta Nyak Sandang senilai Rp. 100.
Hasil donasi masyarakat Aceh kemudian digunakan untuk membeli pesawat Dakota.
Pesawat Dakota DC-3 itu diberi nama Dakota RI-001 Seulawah. Arti dari "Seulawah" adalah gunung emas. Pesawat Seulawah memiliki panjang 19,66 meter dan lebar sayap 28,96 meter.
Mesin pesawat terdiri dari dua mesin Pratt & Whitney seberat 8.030 kilogram sehingga mampu terbang dengan kecepatan maksimal 346 km/jam.
Kehadiran pesawat Dakota mendorong dibukanya jalur penerbangan Sumatera-Jawa, bahkan ke luar negeri.
Pesawat tersebut dioperasikan oleh TNI AU sebagai alat transportasi pejabat negara.
Membawa Hatta dalam kunjungan kerja ke Sumatera
Presiden Joko Widodo, Rabu (21/3/2018) malam, saat menerima Nyak Sandang beserta putranya di Istana Merdeka Jakarta.(Biro Pers, Media dan Informasi Sekretariat Presiden) |
Setibanya di Kutaraja, pesawat itu dijadikan joyflight oleh tokoh-tokoh Aceh. Pesawat juga melakukan perjalanan dari Bandara Maguwo ke Kutaraja
Pada tanggal 6 Desember 1948, pesawat harus diservis dan ditambah kapasitas tangki bahan bakar sehingga diterbangkan ke Kalkuta.
Pesawat tersebut diawaki oleh Kapten Pilot J. Maupin, Copilot OU III Sutardjo Sigit, radio interpreter Adisumarmo, dan engineer Caesselberry.
Perawatan ini diperkirakan akan memakan waktu tiga minggu.
Namun pada tanggal 19 Desember 1948, ibu kota Republik Indonesia Yogyakarta diserang dan dikuasai oleh tentara Belanda yang melakukan agresi militer kedua.
Sebagian besar pesawat milik Angkatan Udara hancur oleh serangan udara.
Sementara itu, pesawat angkut yang utuh masih berada di Kalkuta dan tidak mungkin kembali ke Tanah Air. Selain itu, hubungan antara awak pesawat dan pemerintah pusat di Yogyakarta terputus.
Untuk membayar biaya hidup personel dan perawatan pesawat, dibentuklah perusahaan penerbangan Indonesia Airways yang diawaki oleh personel TNI AU.
Disewakan ke Pemerintah Myanmar
Atas izin Dubes RI untuk India Dr. Sudarsono, pesawat dan awaknya disewakan kepada Pemerintah Myanmar.
Pada tanggal 26 Januari 1949, penerbangan niaga pertama menggunakan pesawat DC-3 Dakota dengan nomor registrasi RI 001 berbendera Indonesia dilakukan antara Calcutta, India, menuju Rangoon, Burma (sekarang Myanmar).
Penerbangan ini diawaki oleh seorang pilot dan kru TNI AU. Setelah melakukan perjalanan dari Rangon, dua hari kemudian Indonesian Airways terbentuk.
Keuntungan dari penerbangan komersial ini digunakan untuk membiayai pendidikan taruna di India dan membantu perwakilan Indonesia di Karachi dan Burma.
Hasil sewa pesawat digunakan untuk membeli pesawat dan menyewa pesawat lain dari Hongkong.
Selama 19 bulan Indonesian Airways melayani di luar negeri sebelum dilikuidasi pada Agustus 1950.
Pesawat dan awaknya kemudian ditempatkan di Military Air Transport Service yang menghubungkan pangkalan udara di Indonesia.
SUMBER: KOMPAS.com (Penulis: Aswab Nanda Pratama, Muhammad Idris | Redaktur: Inggried Dwi Wedhaswary, Bambang Priyo Jatmiko)